[Rekan]
.
Yang paling nikmat dari secangkir kopi sebenarnya bukan dari pahit atau asamnya. Kenikmatan justru hadir dari kerjap yang tercipta, juga canda dan tawa yang ikut mengepul bersama asapnya.
Begitulah. Kopi dan romantisme memang tidak pernah bisa dipisahkan. Di abad pertengahan, kopi pernah hadir di meja para alim ulama dalam pekat malam mereka. Teman sujud, sekaligus teman menulis paling akrab. Kopi menjadi rekan mereka dalam mewariskan ilmu dan membentuk narasi peradaban.
Di salah satu perang, saat Turki mengalami kekalahan di austria, kopi menjadi salah satu barang yang ditinggalkan oleh para pasukan Turki saat itu. Hingga pada akhirnya, kopi menjadi salah satu rekan utama selagi mengudap croissant. Allahu Akbar. Nikmat.
Pun kopi pernah menjadi rekan akrab kami saat berbincang di kota Bursa. Membicarakan apa saja. Tentang keluarga, beasiswa, rencana-rencana, keluh-kesah, merencanakan perjalanan, bahkan saat perumusan pembentukan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Bursa saat itu.
Turk Kahvesi memang masih jadi yang terbaik, apalagi sewaktu ditambahi madu sebagai pengganti gula. 😁
Dan pada akhirnya, kopi selalu lekat dengan romantisme. Ikatan yang hadir melalui topik-topik percakapan yang terjalin saat menyesapnya.
Kopi pernah membangun akrab, sejak abad pertengahan sampai dengan hari ini.
Kopi pernah menginspirasi, sejak Bursa-Turki, sampai Padang Lawas di tahun 2017 kemarin.
Dan tetiba teringat, bahwa pergerakan besar bernama Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al-Banna juga berawal dari warung kopi. Reformasi di tahun 1998 juga diawali dari warung kopi.
Ah. Lalu, kira2 hal ajaib apa lagi yang akan ditunjukkan oleh secangkir cairan pekat yang tak ada manis2nya itu?
Allahu Rabbi.
Dari sayap nyamuk hingga kopi. Dari kopi hingga semesta. "Apakah ada ciptaan-Mu yang sia-sia? Bahkan kehadiran Firaun saja masih tetap bermakna." Bumi Pandan Wangi, 2018 0415
Meski raganya mati, para penulis akan tetap abadi.
Kesan ini yang saya dapatkan dari sosok sastrawan satu ini. Dari balik karya-karyanya, saya menemukan rangkaian nilai sarat makna, disampaikan dengan cara yang sederhana, bahkan cenderung tak biasa.
Selamat jalan, Pak.
Semoga Allah menerima segala amal yang telah ditorehkan, juga perjuangan menebarkan kesederhanaan dan nilai-nilai kebaikan di dalam karya-karyanya. Meskipun rumit, Pak, tapi bagi yang lembut hati, karya Bapak pernah menjadi secercah cahaya bagi mereka.
[Langit]
.
"Hidup ya begitu, Dik," katanya sewaktu kami saling menceritakan sesak. "Kadang cerah, kadang mendung, dan sudah pasti dilewati badai. Mungkin karena itu langit diciptakan di atas, agar kita selalu ingat jika cerah pasti selalu hadir dengan waktu yang lebih lama daripada saat badai menerjang." Memang setiap manusia selalu mencari bahagia di dalam hidupnya, siapapun dia. Tentu tak akan ada yang betah berlama2 dalam kesulitan dan kepedihan. Memangnya siapa yang betah hidup dalam kungkungan nestapa?
Kalau saja dunia ini boleh diibaratkan sebagai padang pasir, maka bahagia adalah oase di atasnya. Tempat yang menjadikan kita betah untuk duduk berlama2 dan menikmati segala yang ada di dalamnya. Terkadang ia membuat kita lupa akan ancaman yang ada di sekitar. Tentang binatang gurun yang berbisa, badai pasir yang bisa jadi datang tiba-tiba, atau bahkan perampok-perampok barbar yang sering menyusuri jalur niaga.
Terkadang 'mencari bahagia' justru menjadi lubang bagi kita sebagai manusia. Tak jarang, ia menjadi alat bagi syaitan untuk mendekatkan diri kepada kita. Bahagia menjadi alasan untuk menghalalkan segala cara. Dari korupsi, mencuri, bahkan dengan berani mulai menyentuh yang tabu lagi haram untuk diri. "Makanya syariat menekankan kita untuk bersyukur lagi bersabar," lanjutnya. "Bersyukur atas apa yang diberi, sehingga Allah tambah nikmat-Nya kepada kita. Lalu bersabar atas segala ujian yang menimpa. Ajruki 'alaa qadri nashabik. Sebab pahala sesuai dengan jerih yang menempa jiwa." Pada kenyataannya, sabar dan syukur memang dua warna yang seharusnya paling dominan dalam iman. Dua hal yang akan membawa kita bahagia akan kecukupan di dunia, dan bahagia atas limpahan rahmat yang nantinya akan datang di akhirat.
Barakallah fiikum. 😀
Sebuah tulisan pengingat diri
[Sederhana]
.
Jika kita menilik hidup nabi, rasanya apa yang kita keluhkan selalu menjadi hal yang beliau syukuri.
Kesederhanaan nan bersahaja, yang dari tengah-tengahnya, selalu lahir orang-orang besar. Kesulitan dan himpitan yang mendidik keikhlasan, mengasah budi untuk tetap jujur, melatih rasa sabar, dan memperkuat diri dalam mujahadah li nafsi.
Di tengah perjalanan ini, saya bertemu para haji dengan segudang pengalamannya. Haji tak sengaja. Diberangkatkan majikan setelah bekerja di Jeddah, Riyadh, Thaif, Makkah, atau Madinah sekian lama. "Kalau pemimpin kita tidak tamak," kata satu dari mereka, "kesejahteraan bisa menjadi kepastian. Bukan soal kesejahteraan duniawi, tapi kesejahteraan imani." Satu kalimat menohok ini beliau sampaikan saat masih memakai caping, baju sederhana yang disemproti parfum (sunnah katanya), dan celana compang yang dipenuhi lumpur bekas bertani. "Kebodohan kita lebih baik, Nak," katanya lagi, "daripada kepintaran yang berujung pada dosa. Korupsi dan menipu rakyat. Tugas besar ada di pundak kalian, mahasiswa. Hasil belajar harus membawa barakah bagi masyarakat. Jangan sampai abdi negara kayak kalian ini hanya berpikir tentang perut sendiri." Setelah itu, kami berdiskusi panjang soal Turki, Saudi, Qishas, Syariah, dan hal-hal lain.
Satu hal yang amat terasa dalam diri; malu saya bertemu orang2 besar nan sederhana seperti ini. Bukan satu dua kali, tapi lebih dari tiga kali, meski ada juga yang kalah karena himpitan ekonomi: menjual jujur demi hutang yang tak seberapa.
Allah, semoga negeri ini, masih tetap Engkau berkahi. Bukan hanya soal kaya buminya, tapi izinkan kami untuk menjadi kaya dalam budi. Semoga ilmu yang kami raih bukan berujung pada eksploitasi, tapi lebih ke pengembangan diri dan kebermanfaatan bagi sesama.
Cugenang, 2018 0404
[Bumiputera]
.
Kata itu membawaku untuk duduk dan bersabar di setiap alun-alun kabupaten yang aku singgahi. Bumiputera pernah menjadi panggilan yang menusuk telinga di zamannya. Satu cerminan kasta rendah di hadapan para kumpeni, sedangkan entitas mereka terkumpul di satu area bernama kabupaten. Daerah yang dipimpin oleh para Bupati dari kalangan Bumiputera sendiri. Tentu dengan afiliasi kuat pada para kumpeni.
Menjadi basis dari kalangan bumiputera, artinya sama saja seperti mengumpulkan seluruh karakteristik masyarakat bumiputera di satu daerah. Mulai dari pergerakannya, adat budayanya, termasuk agamanya. Dan tentu, ini menjadi tempat yang cukup nyaman bagi Islam untuk menggeliat di tengah himpitan para penjajah.
Seperti susunan bangunannya, dan ini yang tak pernah bosan saya nikmati. Alun2, tempat berkumpulnya masyarakat saat perayaan, selalu diapit tiga bangunan besar: masjid agung sebagai simpul keagamaan masyarakat saat itu, pasar sebagai simpul ekonomi-sosial, dan kantor bupati sebagai simpul pemerintahan.
Berjejernya ketiga bangunan ini seakan ingin mengatakan bahwa antara pemerintah, agama, dan aktivitas sosial-ekonomi masyarakat seharusnya tidak dipisahkan. Hadirnya masjid di sebelah barat alun-alun seakan mencerminkan bahwa tak layak agama dijauhkan dari kehidupan sosial masyarakat. Masjid yang berdiri di antara kantor pemerintahan kabupaten dan pasar, seakan mencerminkan bahwa masjid seharusnya memang difungsikan sebagai tempat bertemunya para pamong dengan masyarakat khususnya di waktu-waktu shalat. Masjid, selain tempat untuk beribadah secara vertikal, seharusnya layak difungsikan untuk ibadah secara horizontal: pamong duduk bersama dengan masyarakat, tanpa harus melalui alur birokrasi yang menjerihkan.
Ditulis di Cianjur, 30 Maret 2018 saat GSTQ (acara besar para pecinta Quran) diselenggarakan di Masjid Agung Cianjur
Foto: Alun-alun Kota Cianjur yang sudah 3 kali berganti wajah: lapangan, taman, dan 'entah apa sekarang'
Semoga tetap menjadi tempat yang nyaman untuk menjadi manusia
Barakallah fik
[Sekeping surga itu ...] Cinta memang tak pernah diduga hadirnya. Kadang ia datang di waktu yang tepat, menjamah titik terdalam, lalu berpilin menyambut ketaatan. Kadang cinta juga datang di waktu yang menyesakkan, menjelma ujian, melambai-lambaikan tangan dan mengajak si empu memasuki palung kenistaan.
Cinta memang selalu meminta pengorbanan yang tak sedikit. Cinta memang hanya diperuntukkan bagi mereka yang pemberani. Cinta, hanya hadir bagi para manusia yang siap mengarungi gelombang ujian di dalamnya.
Barakallah fik, @zainabbanafe dengan halalnya nama Karabağli di belakang 'banafe'-mu. Semoga Allah karuniakan cinta yang tak habis, dan putra-putri shalihin di tengah2 kehidupan kalian. Semoga barakah hadir di tengah kehidupan kalian, lengkap dengan Sakinah di dalam dada masing2, dan Rahmah di tengah perjalanannya.
Doakan kami yang masih mencari pelabuhan. 😁
Dengan setangkup doa,
Saudaramu, Andika